Recent Articles

Selasa, 09 Agustus 2011

UU Sisdiknas 2003 dan Pesantren


A.        UU Sisdiknas 2003 dan Pesantren, sebuah sinergitas
     Oleh : Mn

Dalam UU Sisdiknas 2003 ada pasal-pasal yang lebih prinsipil, terutama yang mempunyai ikatan makna dengan pendidikan Islam, hal ini berbeda dengan UU Sisdiknas 1989 yang belum begitu mengangkat ke
permukaan tentang pendidikan Islam, jadi bisa dikatakan bahwa  UU Sisdiknas 2003 menjadikan keuntungan tersendiri bagi Pendidikan Islam, karena secara yuridis pendidikan yang mempunyai embel-embel Islam diakui dan disetarakan dalam sistem dengan pendidikan nasional. Ini terbukti dengan banyaknya beberapa pasal secara tersurat maupun tersirat menyebutkan tentang Pendidikan Islam, seperti pada pasal Pasal 30 Ayat  4 ditegaskan bahwa “Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja, samanera dan bentuk lain yang sejenis”.[1] Dan pada pasal yang lain juga  menyebutkan prinsip-prinsip dasar pendidikan Islam namun dengan ungkapan yang lebih subtantif yaitu pada pasal 3 berbunyi 
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.[2]
 
Terlihat penekananya pada kunci pasal ini dengan adanya kalimat “menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, kalau dipahami kalimat ini ditunjukan secara khusus untuk umat Islam. Dan yang menurut saya merupakan pasal yang spektakuler dari UU Sisdiknas 2003  dalam menyorot tajam tujuan pendidikan pada umumnya dan pendidikan keagamaan (Islam)  khususnya yaitu, pada pasal 30 ayat 2 “Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.[3]  Dan sekaligus kalimat dari pasal ini yang menginspirasi penulis bercurhat ria, karena dari potongan kalimat “Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya” kalimat ini merupakan intisari konsep pendidikan yang sedang diidam-idamkan dan digalakan dalam  berbagai konsep dan teori pendidikan humanis, merupakan zeit geist sepanjang masa.

Pasal 30 ayat 2 tersebut kalau benar-benar dihayati dan dijadikan pedoman dalam membangun pendidikan khususnya pendidikan keagamaan, cukuplah untuk membenahi generasi masa depan Indonesia yang lebih humanis dan beradap, karena agama merupakan satu-satunya norma dalam masyarakat yang diakui  masih dan sangat diharapkan untuk menyelamatkan moralitas bangsa. Tumpuan dan harapan ini tak sekedar pada  Pendidikan Islam, tetapi tumpahan harapan merata untuk pendidikan agama-agama lain, karena saya yakin bahwa semua ajaran agama menyuruh dan menuntun kepada kebajikan-kebajikan, tiada satupun agama  menghendaki adanya kejelekan dan kerusakan, walaupun pengalaman memberitahukan kepada kita bahwa agama selalu menjadi ladang konflik di masyarakat dan menjadi permasalah sosial  kebangsaan diseluruh jagat.

Pendidikan keagamaan yang disebut dari pasal 30 ayat 2, mempunyai tujuan yang sangat cemerlang, bahkan bisa disejajarkan dengan teori dan konsep ideologi-ideologi pendidikan dunia, misal seperti  teori pendidikan hadap masalah, maupun pendidikan humanis yang dicetuskan oleh Freire. Karena pendidikan keagamaan yang tujuanya telah digagas dalam UU Sisdiknas tersebut denga penjabaran pada kalimat” untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama”  makna mengamalkan nilai-nilai ajaran agama, menjadi makna yang filosofis, karena nilai-nilai ajaran agama selalu bersifat universal tentang kebenaran dan kebajikan, ini yang menjadi titik emas dalam pembahasan ini.

  Menjadi tanggung jawab kita semua untuk bersama menghayati nilai-nilai pendidikan yang lebih subtantif untuk membenahi dan merekontruksi sistem pendidikan Islam yang lebih baik, karena kemajuan dan keberhasilan pendidikan Islam tidak bisa diukur dengan konstitusi semata. Justru kesimpulan penulis,  kalau kita begitu membanggakan pengakuan-pengakuan yang bersifat rigid (seperti halnya perundang-undangan) justru merupakan kelemahan dan kemunduran dalam  semangat membangun dan memperbaiki pendidikan islam. Dengan kesimpulan, adanya UU Sisdiknas atau tidak kunci kemajuan pendidikan islam ada di tangan orang Islam itu sendiri, walaupun tak mengesampingkan  undang-undang tersebut dalam memberikan kontribusinya.


[1] UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003, Beserta penjelasanya, Fermana, Bandung, 2006, Hal.81.
[2] Ibid, hal. 68
[3]  Ibid, hal.81

0 komentar:

Posting Komentar