Harmoni Pendidikan Sosial Keagamaan
oleh : Mizanto*
Agama merupakan alat legitimasi atas realitas kehidupan sosial masyarakat yang efektif (Berger, 1991:40).[1] Perbincangan tentang hubungan sosial keagamaan, menjadi satu perbincangan yang sangat menarik, bahkan tak pernah basi, karena tema ini selalu berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman. Dalam berbagai kesempatan
hubungan sosial keagamaan menjadi bahan kajian yang sedang disorot tajam, bahkan dalam berbagai kesempatan kegiatan analisis sosial keagamaan ini didanai oleh pemerintah, dengan bentuk yang lebih memasyarakat yaitu kegiatan research/penelitian-penelitian ilmiah tentang hubungan sosial keagamaan, biasanya penelitian-penelitian sejenis di backup oleh kalangan akademisi, sebut; dosen dan mahasiswa.
hubungan sosial keagamaan menjadi bahan kajian yang sedang disorot tajam, bahkan dalam berbagai kesempatan kegiatan analisis sosial keagamaan ini didanai oleh pemerintah, dengan bentuk yang lebih memasyarakat yaitu kegiatan research/penelitian-penelitian ilmiah tentang hubungan sosial keagamaan, biasanya penelitian-penelitian sejenis di backup oleh kalangan akademisi, sebut; dosen dan mahasiswa.
Membicarakan hubungan sosial dan keagamaan perlu juga mencermati tentang konsep pluralitas dan multikulturasi dalam masyarakat, karena untuk membina hubungan sosial di negara yang heterogen perlu adanya upaya serius untuk menjadikan perbedaan-perbedaan tersebut menjadi kesatuan yang utuh, saling mengerti secara bijak untuk saling melengkapi dan memahami bersama tentang perbedaan dan keberagaman tersebut. Begitupun di Indonesian dengan bermacam-macam suku, budaya, agama, dan bahasa memerlukan adanya sistem masyarakat dan pemerintahan yang bisa berdampingan, menaungi dan mewadahi keberagaman tersebut.
Sosial dan Agama, dua komponen kata yang mempunyai ikatan makna yang dalam, kajian sosiologi dan antropologipun tiada lepas dari membahas tentang dua hal tersebut. Begitu juga dalam hal pendidikan, terutama di negara yang heterogen seperti halnya Indonesia ini, pendidikan harus mampu menjembatani dan memediasi keberagaman tersebut, yaitu dengan cara-cara yang humanis melalui pendekatan analisis sosio-historis, dan pendekatan-pendekatan itu sangat tepat jika penyaluranya melalui pendidikan, karena pendidikan dalam teori maupun prakteknya terbukti telah mampu memperkuat sistem-sistem kultural kemasyarakatan, baik yang diformulasikan dengan konsep-konsep sistemik maupun naturalistik.
Sebagaimana Arifin dalam mengutip ungkapan Prof.Thomson sebagai berikut: "Education is concerned with the problem of individual and society, is indeed, by some defined as the process of fitting the individual to take his place in society"[2] dari ungkapan Thomson tersebut, setidaknya bisa diambil kesimpulan dari pendapatnya bahwa, pendidikan sebagai media memproses individu untuk belajar lebih memahami dirinya dan masyarakat, hal ini sangat penting karena individu tersebut memang bagian dari masyarakat. Sehingga adanya proses pendidikan yang bersifat kelembagaan harus memahami sepenuhnya hal ini, karena nantinya seorang individu baru tersebut, setelah melewati dan berproses dalam pendidikan mau tidak mau akan dikembalikan kedalam masyarakat. Dalam kaitan pendidikan, proses dan literasi ini memunculkan adanya cabang kajian baru yang sering kita kenal dengan istilah sosiologi pendidikan.
Kembali membuka wacana tentang konsep sosial keagamaan yang lebih kritis, sebagaimana wacana tentang perubahan sosial dan reaktualisasi keagamaan yang sedang berlanjut saat ini, penting dicermati oleh kita semua sebagai bagian dari subyek dan obyek perubahan-perubahan tersebut, karena problem sosial kemasyarakatan tampak semakin rapuh, kepekaan dan kepedulian para tokoh masyarakat dan agamawan harus lebih ditingkatkan mengenai hubungan sosial dan keagamaan, hal ini sejalan juga dengan keprihatinan pemerintah mengenai hubungan keagamaan yang kurang harmonis, pernah disampaikan baru-baru ini sebagai himbuan kepada masyarakat oleh menteri agama Surya Dharma Ali, "Peran pemerintah dan tokoh, pemuka, maupun organisasi keagamaan tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling melengkapi, terutama dalam mengantisipasi gejolak bernuansa agama di tengah masyarakat”[3]
*Alumni mbadung, 2007
[1] Moh Soehadha, menemukan kekhasan kajian sosial keagamaan di program studi sosiologi agama uin sunan kalijaga, diambil pada 24 Juli 2011 dari http://ushuluddin.uin-suka.ac.id/id/article/
[2] Arifin M.Ag, Pendidikan Sebagai Pendorong dan Penunjuk Arah Perubahan Sosial, dalam buku Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional,Pustaka Fahima, Yogyakarta, 2007, hal 110.
[3] Waspada Online, Hindari Konflik Sosial Keagamaan,diambil pada 24 Juli 2011 dari http://waspada.co.id/index.php/hindari konflik sosial keagamaa.
0 komentar:
Posting Komentar